Indonesia memang terkenal sebagai negara yang kaya rempah. Sejak tahun 1500-an saja, nama Maluku berkibar di kawasan Eropa. Hal inilah yang memicu orang Portugis, Spanyol, bahkan belanda berbondong-bondong datang ke Asia. Mereka ingin mencari rempah yang kala itu harganya setara dengan emas.
Kekayaan itupun hingga kini masih terasa. Pada tahun 2016 saja, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang mengungkapkan, komoditas rempah ternyata menyumbang PDB (produk domestik bruto) sebesar 429 triliun melebihi migas yang hanya 365 triliun. Maka tak heran kalau Indonesia disebut sebagai surga rempah.
Sekarang, masih banyak petani yang mampu menafkahi keluarga lewat rempah-rempah. Perusahaan farmasi, jamu, dan produsen bumbu rempah, serta makanan khas Indonesia pun turut melibatkan diri mempromosikan khasiat rempah Nusantara.
Maluku sebagai satu satunya tempat tumbuhnya rempah asli Nusantara sekali waktu pernah menjadi surga dan tujuan orang-orang dari berbagai penjuru dunia. Cita rasa firdaus dalam berbagai perspektif mendasari para penjelajah menempuh bahaya dan risiko kehilangan nyawa untuk menemukan pulau di Nusantara tersebut. Hanya di pulau-pulau kecil vulkanis itulah pala dan cengkeh tumbuh, sedangkan di tempat lain tidak ditemukan kedua tanaman tersebut. Tomé Pires dalam Suma Oriental menyatakan bahwa “pedagang-pedagang melayu mengatakan kepada saya, Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana, Banda untuk buah pala dan Maluku untuk cengkeh, dan barang perdagangan ini tidak dikenal di lain tempat di dunia ini, kecuali di tempat-tempat yang disebut tadi. Dan saya telah tanyakan dan selidiki dengan teliti apakah barang ini terdapat di tempat lain, semua orang mengatakan tidak“.
Dari tempat asalnya di pulau-pulau kecil tropis dan vulkanis (Ternate, Tidore, Makian, Moti dan Bacan serta Banda Neira) pala, fuli, dan cengkeh mengalir ke pasar Venesia, Belgia, dan London melewati jalur yang berliku-liku, mengelilingi setengah bumi, dibawa oleh manusia dari berbagai suku, bangsa, bahasa yang berbeda. Sebuah perjalanan panjang yang ditempuh oleh pemilik aroma surgawi.
Dari tempat asalnya di pulau-pulau kecil tropis dan vulkanis (Ternate, Tidore, Makian, Moti dan Bacan serta Banda Neira) pala, fuli, dan cengkeh mengalir ke pasar Venesia, Belgia, dan London melewati jalur yang berliku-liku, mengelilingi setengah bumi, dibawa oleh manusia dari berbagai suku, bangsa, bahasa yang berbeda. Sebuah perjalanan panjang yang ditempuh oleh pemilik aroma surgawi.
Jamuan para Bangsawan dan Santapan Para Dewa
John dari Hautevile dalam Archithrenius pernah menulis “Kebangsawanaan dinilai dari kemewahan sebuah meja makan dan oleh cita rasa yang terpuaskan lewat pengeluaran yang besar”. Nyatanya hal ini sangat tergambar bagaimana rempah menjadi jamuan bangsawan yang dinilai super mewah, tidak hanya karena cita rasanya namun juga karena aromanya. Seperti terlihat di jamuan makan malam Pangeran Henque dari Portugis, yang pada malam Natal tahun 1414 sebelum menyerang bangsa Moor. Pangeran Henrique menyediakan jamuan mewah untuk para bangsawan. Jamuan mulai dari berbehel-behel anggur, manisan, gula, dan buah-buahan, sebagai jamuan supermewah dia menyediakan rempah-rempah, aroma, dan cita rasa surga yang ditunggu para bangsawan.
Pada masa jarak setengah millenium, aroma rempah-rempah berarti aroma kebangsawanan. Sebagian besar pesonanya berasal dari sisi misteri dan keglamorannya, efek intens yang dihasilkan oleh imajinasi utopia. Rempah-rempah adalah lambang “kehidupan yang lebih baik”, suatu konsep yang terus diburu kaum bangsawan Eropa abad pertengahan lewat ritualnya, permadani dindingnya dan literatur dunia khayalnya. Rempah-rempah memang dapat disederhanakan sebagai sarana pengukur prestise ekonomi belaka pada masa tersebut, terlebih mitos bahwa komoditas ini diyakini mewakili sesuatu yang eksotis nan magis, yaitu aroma kesucian yang disukai para dewa.
Jauh sebelum adanya bukti rempah-rempah dikonsumsi, komoditas ini telah digunakan dalam laku religius maupun magis. Rempah-rempah umumnya dibakar dalam dupa atau dilemparkan begitu saja kedalam api di perapian arang kuil selama proses ritual keagamaan. Atau dapat juga rempah-rempah dijadikan bahan wewangian dan salep yang dioleskan kepada patung pemujaan. Eksotisme, kelangkaan, dan kemisteriusan rempah-rempah menjadi karakteristik yang sesuai dengan ritual pemujaan kuno. Daya tarik lainnya, tentu aroma yang jika dicampur dengan dupa, akan keluar wangi, harum menusuk dan memperkuat efek dari berbagai karet dan getah dari Timur Dekat dan Arab, fungsi ini masih terpakai hingga hari ini.
Seperti dikatakan Turner bahwa paganisme pada dasarnya identik dengan bau-bauan. Selain di festival-festival besar, aroma rempah-rempah, dupa, dan wewangian juga meresap ke dalam seluruh bagian ritual agama kuno layaknya agama masuk ke dalam kehidupan itu sendiri. Selain dewa-dewa Pagan, nampaknya dewa-dewa Romawi juga menyukai rempah. Ketika Hercules dalam puisi Seneca berterimakasih kepada dewa-dewa atas kejayaannya, ia memerintahkan disiapkan persembahan terbaik bersama rempah-rempah India. Dalam hal ini tentu yang dimaksud adalah rempah-rempah Nusantara yang dibawa melalui India.
Melalui tulisan ini, Herisacorp berkomitmen untuk mengenalkan, mempromosikan rempah Nusantara sebagai jamuan surga sebagai komoditi ekspor yang memberikan manfaat kepada dunia tentang surga yang benama Indonesia. Untuk melihat beberapa produk rempah-rempah dari kami, Anda bisa langsung Klik disini.